Selabintana. Melampaui Mimpi lmperialisme.


Selabintana, Melampaui Mimpi Imperialisme*

Selabintana menorehkan jejak sejarah kejayaan kemakmuran masyarakat Sukabumi akan pesona  alamnya yang sejuk, udaranya yang bersih dan hutan lindungnya yang memikat bahkan di Selabintana ini tertinggal budaya serta arsitektur Belanda di hotel Selabintana yang berdiri kokoh hingga kini.

Pada masa Cultuurstelsel atau di sebut tanam paksa Belanda sebagai aturan penjajah untuk eksploitasi alam Indonesia yang bergulir tahun 1830 oleh gubernur jenderal Johannes Van De Bosch   sehubungan dengan eksotisnya Gunung Gede - Pangrango mengundang penjajah mencari tempat peristrihatan dan sekaligus tempat kantor pengawasan aturan Cultuurstelsel tersebut di Selabintana Sukabumi ini ditemukan oleh seorang berkembangsaan Belanda, bernama AAE Lenne (1853 – 1916)kemudian di dirikanlah hotel yang pertama kali didirikan pada tahun 1900 dengan latar belakang Gunung Gede – Pangrango.



Pada tahun 1924, AAE Lene menyerahkan Hotel Selabintana kepada anaknya GE Lene (1897 – 1976). GE Lene kemudian mengangkat Los Bakker, seorang manajer berkebangsaan belanda untuk mengelola Hotel Selabintana. Saat itu, Bakker berhasil meningkatkan jumlah kunjungan warga Belanda ke Selabintana.

Kini bernama Selabintana Hotel & Conference Resort , Kami keluarga besar dari SMAN 1 Ciruas, Kabupaten Serang Banten  pun beruntung dapat berkunjung ke tempat ini , kami beristrirahat, berkunjung ke kios kios tanaman hias dalam kawasan wisata Selabintana, bahkan kami berkunjung ke pusat oleh oleh di Sukabumi kota.

Rombongan Keluarga besar SMAN 1 Ciruas pun , melakukan kegiatan berbagi asih dan curah fun atas refleksi rutinitas bekerja di sebuah ruang yang tahun 1940 pernah di pergunakan rapat penting antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Jepang digelar tahun 1940. Rapat tersebut membahas hubungan ekonomi kedua negara itu terkait erat dengan berakhirnya Perjanjian Perdagangan Jepang-Amerika Serikat (AS) pada 26 Januari 1940. Akhirnya perjanjian itu diikuti dengan pembatalan drastis ekspor AS ke Jepang dan kekhawatiran Jepang akan diembargo AS.



Jepang membutuhkan negara lain untuk memasok sumberdaya alam, terutama minyak, agar industrinya tetap berjalan. Untuk itu mereka menghubungi penguasa Hindia Belanda, untuk mendapatkan jaminan pasokan dan konsesi ekonomi lebih jauh.

Akhirnya Jepang mengutus Menteri Perdagangan dan Industri Ichizo Kobayashi datang ke Hindia Belanda, sehingga delegasi yang ke Batavia dikenal dengan Misi Kobayashi. Delegasi Jepang tiba di Batavia pada 12 September 1940 menggunakan Kapal Nissho Maru. Disambut Menteri Ekonomi Hindia HJ van Mook dengan upacara meriah di Batavia, mereka berangkat ke tempat konferensi, Selabintana pada 16 September.



Jepang tak langsung masuk pada inti dalam perundingan, melainkan lebih dulu masuk dengan penjelasan tentang proyek Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Jepang ingin Hindia, yang sudah terputus dari pemerintahan pengasingan Belanda di London, masuk ke dalamnya dan bekerjasama penuh.

Setelah tak mendapat tanggapan positif dari Hindia, Jepang baru masuk ke inti pertemuan dengan meminta Hindia meningkatkan pasokan minyaknya ke Jepang dari yang biasanya 600 ribu ton menjadi 3.150.000 ton per tahun. Kuota sebesar itu, pinta Jepang, mesti dijamin selama lima tahun. Jepang juga meminta Hindia lebih melonggarkan kebijakan ekonominya terhadap Jepang. Selain ingin mendapatkan konsesi, Jepang ingin mendapat informasi sumur-sumur minyak Hindia lewat pembukaan akses riset para ilmuwannya.

Van Mook tak bisa mengabulkan banyak tuntutan Jepang itu. “Kunjungan ke sumur dan kilang minyak hanya bisa diberikan oleh masing-masing pemilik perusahaan. Pemerintah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan hak seperti itu kepada pihak ketiga,” ujar Van Mook seperti ditulis M. Abdul Aziz dalam Japan’s Colonialism and Indonesia.

Keteguhan masing-masing pihak pada pendiriannya membuat perundingan macet. Kedua delegasi kembali bertemu pada 16 Oktober. Perundingan tetap alot, Kobayashi dan Van Mook tetap pada pendiriannya. Jepang menuduh pemerintah Hindia boneka Amerika yang bertindak selalu dengan arahan Washington. “Menteri HJ van Mook menegur Kobayashi dan melabeli permintaan minyak itu tidak masuk akal. Selain itu, katanya, peran pemerintah Belanda hanya pengawas. Perusahaan-perusahaan minyak Belanda yang mengendalikan penuh produksi dan penjualan produk-produk minyak, bukan pemerintah,” tulis Stinnett.

Jepang terpaksa menyetujui komunike bersama yang lebih banyak ditentukan Hindia. “Jepang merasa perlu menghilangkan kecurigaan Hindia tentang niatnya yang sebenarnya, menunda menggunakan senjata atas Hindia, dan yang terpenting memastikan aliran bahan mentah terus berjalan dari Hindia tidak hanya untuk mempercepat persiapan perangnya tapi juga untuk menyediakan Jerman, partner dalam Pakta Tripartit, dengan material penting untuk kebutuhan Perang Eropa,”

Dari Selabintana ini, banyak pembelajaran yang bermakna bahwa Indonesia adalah negeri yg kaya akan sumber daya alamnya, baik rempah rempah atau bahan tambang sebagai sumber mentah/baku alat alat militer.

Imperialisme Belanda  dan Jepang adalah mimpi yang tak berwujud tirani menjadi negara adi daya Dunia terlampaui di Selabintana. Karena Kami Indonesia berjiwa patriotisme dan nasionalisme tetap membara di dada dari dulu hingga kini. sesungguhnya Indonesia lah Negara Adi Daya Dunia itu. (4,5/3/23).

*Sudrajat Senda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik dan pergolakan kepentingan (vested interest).

Paham-paham Baru di Eropa

Konferensi Asia Afrika (KAA)