Konflik dan pergolakan kepentingan (vested interest).



Konflik dan pergolakan kepentingan

 (vested interest) & Sistem Pemerintahan


Peristiwa konflik dan kepentingan (vested interest). yang berkait dengan Kepentingan (vested interest). Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan AndiA ziz.

Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri. Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi suatuproses perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflikpun terjadi.

Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan.

Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO(Bijeenkomst Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta.

Masalah yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketikaberdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuknegara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RIm menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah negaraPasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur. BFO sendiri adalahbadan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk olehBelanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makinl lamabadan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda.

Pro-kontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkanpertentangan.

Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan pemberontakanyang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesiaterhadap pemerintahan pusat.



Baik kota ulas lebih lanjut ; 

Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan.

a. Pemberontakan APRA

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang anggotanya  terutama berasal dari tentara Belanda: KNIL, yang tidak setuju dengan  pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di  Jawa Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar  keberadaan negara Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di Jawa Barat. Karena itu, pada Januari  1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS. Ultimatum ini segera  dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan penangkapan  terhadap Westerling.


APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara mendadak dan melakukan tindakan teror. Puluhan anggota APRIS gugur. Diketahui  pula kemudian kalau APRA bermaksud menyerang Jakarta dan ingin  membunuh antara lain Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS Kolonel T.B. Simatupang. Namun semua itu akhirnya  dapat digagalkan oleh pemerintah. Westerling kemudian melarikan diri ke  Belanda.


b. Peristiwa Andi Aziz

Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa Andi Aziz

berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar  hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS di Negara Indonesia Timur  (NIT). Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke Sulawesi Selatan dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut


ketidakpuasan di kalangan pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka akan diperlakukan secara  diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI. 

Pasukan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz ini kemudian bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting, bahkan menawan Panglima  Teritorium (wilayah) Indonesia Timur, Pemerintahpun bertindak  tegas dengan mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Kolonel Alex  Kawilarang. 

April 1950, pemerintah memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta

akibat peristiwa tersebut, dan menarik pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki, menyerahkan senjata serta membebaskan tawanan  yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu melapor adalah 4 x 24 jam.  

Namun Andi Aziz ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya telah berontak. Andi Aziz pun segera ditangkap di Jakarta setibanya ia ke  sana dari Makasar. Ia juga kemudian mengakui bahwa aksi yang  dilakukannya berawal dari rasa tidak puas terhadap APRIS. Pasukannya  yang memberontak akhirnya berhasil ditumpas oleh tentara Indonesia di  bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.


c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) Sesuai dengan namanya, pemberontakan RMS dilakukan dengan tujuan  memisahkan diri dari Republik Indonesia dan menggantinya dengan  negara sendiri. Diproklamasikan oleh mantan Jaksa Agung Negara  Indonesia Timur, Dr. Ch.R.S. Soumokil pada April 1950, RMS didukung  oleh mantan pasukan KNIL. 

Upaya penyelesaian secara damai awalnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yang mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun upaya  ini mengalami kegagalan. Pemerintahpun langsung mengambil tindakan  tegas, dengan melakukan operasi militer di bawah pimpinan Kolonel  Kawilarang. 

Kelebihan pasukan KNIL RMS adalah mereka memiliki kualifikasi sebagai pasukan komando. Konsentrasi kekuatan mereka berada di pulau  Ambon dengan medan perbentengan alam yang kokoh. Bekas benteng  pertahanan Jepang juga dimanfaatkan oleh pasukan RMS. Oleh karena  medan yang berat ini, selama peristiwa perebutan pulau Ambon oleh  TNI, terjadi pertempuran frontal dan dahsyat dengan saling bertahan dan  menyerang. Meski kota Ambon sebagai ibukota RMS berhasil direbut dan  pemberontakan ini akhirnya ditumpas, namun TNI kehilangan komandan  Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Letnan Kolonel Soediarto yang gugur  tertembak. Soumokil sendiri awalnya berhasil melarikan diri ke pulau  Seram, namun ia akhirnya ditangkap tahun 1963 dan dijatuhi hukuman  mati. 

Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan. 


a. Pemberontakan PRRI dan Permesta

Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas  minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini  mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan  Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan  otonomi daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer  dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil  dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan  dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan  tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti :


a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.

b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh  Kolonel Maludin Simbolan. 

c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh  Letkol Barlian. 

d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh  Kolonel Ventje Sumual. Dewan-dewan ini bahkan  kemudian mengambil alih  kekuasaan pemerintah daerah  di wilayahnya masing- masing. Beberapa tokoh sipil  dari pusatpun mendukung  mereka bahkan bergabung ke  dalamnya, seperti Syafruddin  Prawiranegara, Burhanuddin  Harahap dan Mohammad  Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution  dan PM Juanda sebenarnya  berusaha mengatasi krisis ini  dengan jalan musyawarah,  namun gagal. 

Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah  pusat, menuntut agar Kabinet  Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada  presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Krisis pun  akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad  Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner  Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan  perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintahan ini. Sebagai  perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara. 


Pemberontakan PRRI dan Permesta  ternyata melibatkan AS di dalamnya.  Kepentingan AS dalam pemberontakan  ini berkait dengan kekhawatiran negara  tersebut bila Indonesia akan jatuh ke  tangan komunis yang saat itu kian  menguat posisinya di pemerintahan pusat Jakarta.

Salah satu bukti keterlibatan AS melalui operasi CIA-nya adalah ketika pesawat  yang dikemudikan pilot Allen Lawrence  Pope berhasil ditembak jatuh.  


Coba kalian cari informasi mengenai kisah Allen Pope ini dalam kaitannya dengan  keterlibatan AS dalam pemberontakan  Revolusioner  Republik Indonesia (PRRI)


Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi  PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh-tokoh sipil yang  ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang  dikenal anti PKI. 

Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan  musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI,  mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan  pemerintah pusat (kabinet Juanda). 

Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata  didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini  karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat Indonesia yang  bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan  PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan. 


b. Persoalan Negara Federal dan BFO

Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi  perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan.  

Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang  ingin Indonesia menjadi negara kesatuan. 

Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil  dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para  politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan  begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi. 

Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi  persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga  secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini

Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah  ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan  Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk  Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde  Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara  Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan  dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan  bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda  melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian  sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi  antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan  Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan  pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara  golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik  Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah  satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS  diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan  anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan  bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar  mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang  masuknya anggota TNI ke negara bagian (TaufikAbdullah danAB Lapian, 2012.). Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz  sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan  ini. 

Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika  negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah  KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara- negara bagian tersebut bergabung ke RI.


KESIMPULAN

1. Potensi disintegrasi bangsa pada masa kini bisa saja benar-benar terjadi bila bangsa Indonesia tidak menyadari adanya potensi semacam  itu. Karena itulah kita harus selalu waspada dan terus melakukan upaya  untuk menguatkan persatuan bangsa Indonesia. 

2. Sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa proses disintegrasi sangat merugikan. Antara tahun 1948-1965 saja, gejolak yang timbul  karena persoalan ideologi, kepentingan atau berkait dengan sistem  pemerintahan, telah berakibat pada banyaknya kerugian fisik, materi.

mental dan tenaga bangsa.

3. Konflik dan pergolakan yang berlangsung diantara bangsa Indonesia

bahkan bukan saja bersifat internal, melainkan juga berpotensi ikut

campurnya bangsa asing pada kepentingan nasional bangsa Indonesia

TUGAS




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paham-paham Baru di Eropa

Konferensi Asia Afrika (KAA)