Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau





Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau 

Sudrajat Senda


Dari catatan-catatan di sejarah Indonesia dan Malaya yang telah di himpun dari sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina. Kontak dagang itu sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi hingga abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dan dari literatur Arab juga banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.

Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan muncul jaringan perdagangan dan pertumbuhan yang disertai perkembangan kota- kota pusat kesultanan dengan kota- kota bandar pada abad ke-13 hingga abad ke-18 misalnya, Samudera Pasai, Malaka, Banda Aceh, Palembang, Demak, Siak Indrapura, Jambi, Minangkabau, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota- kota lainnya. Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Malaka dan Samudera Pasai yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke- 13 sampai abad ke- 15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan ada komunitas- komunitas Muslim di pesisir utara Jawa Timur. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) juga memberikan gambaran terkait keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional ataupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas maupun kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Persia, Gujarat, Arab, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga telah mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Persia, Ormuz, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.

Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa dapat disimpulakan adanya jalur- jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional. Hubungan pelayaran yang disertai perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudera Hindia menjadi semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan semakin maju perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkan Baghdad menjadi pusat pemerintahan yang menggantikan Damaskus (Syam) aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, dari abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan menuju ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan- kerajaan di Kepulauan Indonesia menjadi langsung. Hubungan itu menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab di larang masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam pun melarikan diri dari pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan dari Raja Kedah dan Palembang. Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut telah mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif yakni dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.

Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar serta lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh perompak laut (bajak laut) yang sering terjadi pada jalur perdagangan yang ramai, akan tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sendiri sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan itu dilakukan karena merosotnya keadaan politik serta mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial. Akibat aktivitas bajak laut tersebut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Tiku, dan Pariaman. Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) di bawa barang komoditi itu menuju Somba Opu, yakni ibukota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.

Pada abad ke- 15, Sulawesi Selatan didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Sumatra, dan Jawa,. Dalam perjalanan sejarah, masyarakat Muslim di Gowa yakni Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) serta putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang yakni dengan bangsa Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang juga turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama tersebut didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah- rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku. Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat. Dengan ditandai adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam yaitu Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa yang artinya raja cengkih, karena ia membawa cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) itu, hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang amat panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan yaitu putik bunga tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang telah dikeringkan. Satu pohon tersebut ada yang menghasilkan cengkih hingga 34 kg. Hamparan cengkih di tanam di perbukitan di pulau- pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, maupun Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil di tanam di pulau yang relatif besar, yakni Bacan, Ambon dan Seram


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik dan pergolakan kepentingan (vested interest).

Paham-paham Baru di Eropa

Konferensi Asia Afrika (KAA)