Kudeta Politik Indonesia



 Kudeta  Politik  Indonesia


Oleh

Sudrajat Senda*


Kudeta,..wow sangat menarik kata ini, apalagi saat saat ini kata Kudeta ramai di perbincangkan di Dunia nyata dan Maya, lalu apa itu kudeta? 


Kudeta berdasarkan pada KBBI adalah perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa. Mengudeta adalah melakukan perebutan kekuasaan dengan paksa dan tidak secara sah.


Bahasa Perancis kudeta berasal dari kata, Coup d'etat atau coup. Mengutip Wiktionary, Coup d'etat secara harfiah berarti pukulan terhadap suatu negara (a sudden blow or strike to a state).


Kudeta adalah kekalahan mendadak pemerintah melalui kekuatan ilegal oleh sekelompok kecil, seringkali kelompok militer, menurut kutipan Cambridge Dictionary


Kudeta adalah penggulingan atau pengubahan pemerintahan yang ada oleh sekelompok kecil dengan kekerasan.


Kudeta  adalah kendali atas semua atau sebagian angkatan bersenjata, polisi, dan elemen militer lainnya.


Kudeta terkadang digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada pengambilalihan atau kemenangan bukan hanya di bidang pemerintahan tetapi juga perusahaan.


Sedangkan kudeta dapat dilakukan oleh segelintir orang. Bahkan satu orang dapat memulai kudeta. 


Kudeta adalah pergantian kekuasaan dari atas yang hanya menghasilkan pergantian tiba-tiba pejabat pemerintah yang terkemuka.


Kudeta jarang mengubah kebijakan sosial dan ekonomi fundamental suatu negara. Kudeta juga tidak secara signifikan mendistribusikan kembali kekuasaan di antara kelompok politik yang bersaing.


A. Kudeta Politik di awal kemerdekaan.


Ramai saat ini dengan Kudeta Partai Politik, bagaimana peristiwa yang pernah terjadi tentang pergantian/pengambilalihan kekuasaan dalam partai politik.


Partai politik di Indonesia di gulirkan tiga bulan setelah kemerdekaan di proklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan pada Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik.


Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab, inilah kudeta sistemik partai politik yang terjadi di awal kemerdekaan itu.


Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, Pemilu 1955 ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.


Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR.


Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih anggota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.


Keterlambatan dan "penyimpangan" tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.


Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidak siapa pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedia perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif.


Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.


Tidak terlaksana pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :


Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu .


Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antara kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun tidak berarti bahwa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu.


Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No.27 tahun 1948 tentang pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No.12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No.12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didsarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.


Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadi pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oelh Panitia Sahardjo dan Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).


Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan SUkiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.


Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No.7 tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yangdiselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No.27 tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No.12 tahun 1949 yang Mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.


Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih dari 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.


Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara.


Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kosntituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.


B. Kudeta Politik di awal Orde Baru.


Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian di kudeta lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto  dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.


Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.


Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.


UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar.


Jadi sesungguhnya pemerintah pun telah melakukan kudeta terhadap ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara kudeta nya di lakukan dengan pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.

Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.


Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.


Namun demikian, cara kudeta Pemerintahan ini terhadap pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.


Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.


Satu hal yang nyata perbedaan kudeta kudeta pada Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.


Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.


Kudeta terhadap Hasil Pemilu 1977


Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.


Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.


PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.

PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

No. Partai Suara % Kursi % (1971) Ket

1 Golkar 39.750.096 62,11 232 62,80 - 0,69

2 PPP 18.743.491 29,29 99 27,12 + 2,17

3 PDI 5.504.757 8,60 29 10,08 - 1,48

Jumlah 63.998.344 100,00 360 100,00


Kudeta terhadap Hasil Pemilu 1982


Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.


No. Partai Suara % Kursi % (1977) Ket

1 Golkar 48.334.724 64,34 242 62,11 + 2,23

2 PPP 20.871.880 27,78 94 29,29 - 1,51

3 PDI 5.919.702 7,88 24 8,60 - 0,72

Jumlah 75.126.306 100,00 364 100,00


Kudeta terhadapa hasil Pemilu 1987, Pemilu 1977, 1982.


Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.


Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.


Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.


Kudeta terhadap hasil Pemilu 1977


Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.


Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.

No. Partai Suara % Kursi % (1977) Ket

1 Golkar 48.334.724 64,34 242 62,11 + 2,23

2 PPP 20.871.880 27,78 94 29,29 - 1,51

3 PDI 5.919.702 7,88 24 8,60 - 0,72

Jumlah 75.126.306 100,00 364 100,00


PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.


PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.


No. Partai Suara % Kursi % (1971) Ket

1 Golkar 39.750.096 62,11 232 62,80 - 0,69

2 PPP 18.743.491 29,29 99 27,12 + 2,17

3 PDI 5.504.757 8,60 29 10,08 - 1,48

Jumlah 63.998.344 100,00 360 100,00


Kudeta Hasil Pemilu 1982


Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu padaketentuan Pemilu 1971.


Kudeta terhadap Hasil Pemilu 1987


Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.


Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.


Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.


No. Partai Suara % Kursi % (1977) Ket

1 Golkar 62.783.680 73,16 299 68,34 + 8,82

2 PPP 13.701.428 15,97 61 27,78 - 11,81

3 PDI 9.384.708 10,87 40 7,88 + 2,99

Jumlah 85.869.816 100,00 400 100,00


Kudeta terhadap hasil Pemilu 1992


Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.


PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.


Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.

No. Partai Suara % Kursi % (1977) Ket

1 Golkar 66.599.331 68,10 282 73,16 - 5,06

2 PPP 16.624.647 17,01 62 15,97 + 1,04

3 PDI 14.565.556 14,89 56 10,87 + 4.02

Jumlah 97.789.534 100,00 400 100,00


Kudeta terhadap Hasil Pemilu 1997


Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.


Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

No. Partai Suara % Kursi % (1977) Ket

1 Golkar 84.187.907 74,51 325 68,10 + 6,41

2 PPP 25.340.028 22,43 89 17,00 + 5,43

3 PDI 3.463.225 3,06 11 14,90 - 11,84

Jumlah 112.991.150 100,00 425 100,00


Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.


Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh wakil presiden Bacharuddin Jusuf Habbie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau yang dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau 13 bulan masa kekuasaan Habbie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakan Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan Wakil presiden yang baru


Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof.Dr.M Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni sebanyak 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi ini yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisi ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.


C. Kudeta Politik di awal Reformasi
 

Gerakan Reformasi titik keruntuhan Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden  Orde Baru yang cenderung otoriter nyata menyisakan trauma mendalam pada sebagian rakyat Indonesia, terutama para praktisi politik. Masa Orde Baru dicirikan oleh kuatnya kedudukan presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan. Kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) hal ini merupakan kebobrokan yang sering dianggap mewakili profil dan suasana ORBA.


Reformasi adalah momentum yang tepat untuk meng kudeta kekuasaan presiden dan mencegah terjadinya kembali otoritarian dalam sistem pemerintahan.

Kudeta kekuasaan presiden ini 'hanya bergeser ke DPR yang ternyata sekadar menunggu giliran untuk berkuasa. Hal ini terlihat jelas pada amandemen beberapa pasal dalam UUD 1945 yang menegaskan kokohya DPR dan mandulnya MPR karena bukan lagi pelaksana sepenuhnya atas kedaulatan rakyat. Fakta ikutannya bisa diamati belakangan, bahwa "komplemen" DPR di MPR terindikasi akan dipusokan sedemikian sehingga suaranya dapat menjadi paduan suara.

Kudeta Politik atau perpindahan kekuasaan ke DPR ini mengambik alih kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan hukum belaka. Karena DPR merupakan lembaga legislatif pembuat undang-undang, maka DPR cenderung menjadikan undang-undang yang mereka buat sebagai alat untuk berkuasa. Ya, berkuasa lewat jalur legislasi. 


Menempatkan hukum sebagai panglima adalah siasat  dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum-hukum strategis yang akan jadi panglima itu harus selalu melewati persetujuan DPR.


Kudeta Politik bertambah besar  kekuasaan DPR juga makin nyata dengan adanya hak "mengelola" anggaran negara. DPR mengajukan "proyek-proyek" legislasi yang cukup tinggi menyerap kuota anggaran negara dengan mengabaikan aspek urgensi dan efisiensi.



Kalaulah sekarang ini ditengarai masih ada anasir-anasir ORBA yang bercokol dan terkesan membebani iklim demokrasi dan pembangunan negeri, salah satu pintu gerbang emasnya yang harus diwaspadai adalah lembaga legislasi itu. Indikasinya jelas, memperkuat diri dan melemahkan "rival-rivalnya". Kepala eksekutif yang pemilihannya dikembalikan pada rakyat secara langsung jelas jadi rival utama karena bisa muncul tanpa kena sensor mereka. Namun, pemimpin strategis lain semacam Kapolri, Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, pimpinan KPK, serta beberapa pejabat publik strategis lainnya tetap harus lewat "sensor" DPR.

Reformasi yang sesungguhnya lebih cenderung pada legislative supremacy sebagai bentuk kudeta sistemik misalnya , masa jabatan Kepala Negara dibatasi maksimal dua periode, masa jabatan anggota legislatif tidak dibatasi. Setelah purna tugas bisa dipilih dan dipilih lagi sampai mati, baik melalui parpol yang sama maupun berganti-ganti. Meski ada internal partai yang konon membatasi masa jabatan kadernya di dewan legislatif hanya maksimal dua periode, anggota legislatif tersebut bisa pindah ke partai lain untuk mencalonkan diri lagi. 

Jadi kalau memang mau dibatasi, harus dengan undang-undang yang mengikat semua kandidat; tapi siapa yang mau membuat aturan pembatasan masa jabatan anggota dewan? DPR? Mungkin saja. Jangan terlalu buruk berprasangka. Tapi barternya pastinya ada. Manusia mana yang ikhlas dikurangi pemasukannya tanpa imbal jasa/harta. Mungkin minta gaji, bonus, dan fasilitas dua kali lipat dari normalnya. Barulah mereka akan meloloskan aturan pembatasan masa jabatan itu. Memang kuat sekali kedudukan mereka, super sekali, karena mereka sendiri yang membuat aturannya. Sebenarnya mereka inilah yang "superbody", makanya KPK ditahan dan dilemahkan agar jangan sampai menyaingi. Kalau bisa jangan sampai ada yang mengawasi atau menghalangi.


*Sudrajat Senda
Guru Sejarah
SMAN 1 CIRUAS - Kab.Seranh


Berlanjut,....Kudeta hasil pemilu pada masa Reformasi....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik dan pergolakan kepentingan (vested interest).

Paham-paham Baru di Eropa

Konferensi Asia Afrika (KAA)